Menyambut Baskara di Puncak Telomoyo - metuomah.com

Minggu, 25 Maret 2018

Menyambut Baskara di Puncak Telomoyo

Sayup kudengar suara, "Mas bangun..." Masih di bawah sadar kupastikan itu suara manusia, bukan vampir atau dracula. Saat membuka mata, kulihat penjaga malam berjalan menjauh diikuti sosok lain berpakaian tebal. Sedikit demi sedikit barulah teringat pukul 03.00 WIB harus bersiap menuju puncak Gunung Telomoyo. Kuhidupkan gawai untuk melihat jam, alamak... sudah pukul 03.30 WIB! Akupun bergegas menuju tenda mengambil perbekalan yang sudah kusiapkan tadi malam.

Kasur tidur membuatku terjaga di dalam tenda, punggung dan tangan sakit setelah sorenya bermain titian tinggi. Pukul 02.35 WIB aku keluar tenda dan menemukan 'tratag', dimana galon air minum peserta Blogger Camp d'Emmerick Salatiga berada, begitu menggoda untuk disinggahi. Tertidurlah di sana lepas pukul 03.00 WIB, usai mendengar tiang bendera dipukul beberapa kali.
Menunggu rombongan lain.
Aku jadi orang terakhir yang naik ke lobi hotel. Sepanjang jalan setapak aku bergumam, kenapa jarak perkemahan dengan lobi terasa jauh? Batu-batu pengeras jalan menanjak ke area hotel, kupijak dengan malas. Di depan lobi hotel, puluhan mobil SUV (warga kita sering menyebut jenama Jeep) penggerak 4 roda sudah terparkir rapi, siap membawa kami ke Gunung Telomoyo.

Beranjak menuju Telomoyo
Mesin 11 mobil itu mulai dihidupkan, semua sudah dimodifikasi agar bisa melintasi medan berat. Mayoritas menggunakan bodi Suzuki Jimny dan Katana, selain itu ada bodi Toyota Kijang kotak dan Toyota Hardtop. Tiap mobil mengangkut 1 penumpang di depan dan 2 di belakang. Satu mobil kulihat masih mulus, hanya diameter ban lebih besar dari standar. Sedangkan mobil lain sudah "tidak utuh lagi". Aku kebagian mobil yang masih utuh atap dan jendela, tapi pintu belakang diubah menjadi pintu mobil bak terbuka. Saat akan naik, penumpang belakang harus melompati tempat duduk dari belakang. Jum'at 16 Maret 2018 pukul 03.45 WIB, 30 blogger dan kru Hotel d'Emmerick bergerak menuju puncak Telomoyo.

Saling menyalip antar mobil komunitas s4x4tiga Adventure Offroad terjadi hingga gerbang pintu masuk Gunung Telomoyo. Apakah itu bagian dari paket perjalanan atau sebagian mobil memang kesulitan menanjak? Aku tidak tahu jawabannya. Di tempat transit ini kami menunggu 3 mobil yang terpisah dari rombongan karena melewati jalan berbeda.

Menurut Mas Yanto, salah satu pengemudi; sebelum ada pintu masuk retribusi tiket, jalan menuju puncak rawan kejahatan. Tak jarang orang pergi naik motor, pulang jalan kaki. Dengan dibangunnya pintu gerbang, setiap orang yang masuk akan terdeteksi. Lahan parkir retribusi tiket berada di Desa Pandean Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Mampu menampung sekitar 100 mobil, dan dilengkapi 4 toilet yang cukup bersih. Untuk shalat sudah ada masjid tidak jauh dari tempat parkir.
Selamat datang di Gunung Telomoyo.
Kami melanjutkan perjalanan 10 menit sebelum adzan Shubuh berkumandang, berpacu dengan waktu Shubuh di puncak. Medan cukup berat, 90% aspal jalan yang hanya bisa dilalui 1 mobil ini, mengelupas seluruhnya semenjak pintu gerbang. Pengemudi harus pandai memilih jalan untuk memberi kenyamanan penumpang. Keadaan diperparah dengan bocornya knalpot mobil yang kutumpangi, suaranya pun menggelegar. Kulihat ada lubang di lantai mobil, karbon monoksida selalu terhirup meskipun hidung sudah tertutup masker dan kain. Semoga paru-paruku tetap sehat setelah mengalami kejadian itu.

Dinginnya puncak terusir oleh kirana loka
Pukul 05.08 WIB rombongan sampai di puncak Gunung Telomoyo. Kami segera melaksanakan shalat Shubuh berjama'ah, dengan beralaskan tikar di tengah jalan. Cukup sempit, aku berharap di masa datang, sekitar puncak ada sedikit ruang lapang untuk istirahat, shalat, dan toilet. Itu jika berniat dijadikan destinasi wisata. Untuk keperluan wudhu, panitia membawa 1 jeriken air, secara bergantian kami wudhu dengan 1 botol air 600 ml. Ada juga peserta yang sudah wudhu di gerbang masuk Telomoyo. Di ketinggian 1847 mdpl ini, kurasakan betapa mahal dan berharganya air untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Matahari terbit dari puncak Gunung Telomoyo.
Gunung Telomoyo terletak di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang dijuluki gunung menara (mount tower). Julukan tersebut disematkan atas prestasinya menjadi favorit menara telekomunikasi operator selular, radio, dan televisi. Pendaki gunung tidak bisa benar-benar di puncak, biasanya berhenti di 2 titik yang digunakan untuk landasan olahraga gantole. Puncak telah dipagar menara, dan 2 titik tersebut adalah titik terbaik menyambut baskara pagi. keberadaannya kurang lebih 10 meter di bawah puncak. Menggapai puncak Gunung Telomoyo merupakan salah satu yang termudah di Pulau Jawa, dengan kendaraan bermotor sudah bisa menaklukkannya.

Semburat jingga di kaki langit timur mulai terbentang, tengara surya menyingsing. Teman-teman mencari tempat untuk memotret baskara. Dua pemotret profesional yang selalu semobil sedari penjemputan, sudah siap bersama beberapa lensa. Menurut jadwal shalat Salatiga, pada hari itu matahari akan terbit pada pukul 05.40 WIB.
Mengabadikan diri sebagai bukti.
Jari tanganku tiba-tiba kaku, ruas jari sulit menekuk dan kulit tangan mengeriput. Aku tidak memakai sarung tangan, karena kuperkirakan di atas Telomoyo tidak sedingin di gunung yang pendakiannya ekstrem. Kubuka Instagram Story, ternyata menurut mereka suhu saat itu 14⁰ Celcius!

Kamera gawai, mirrorless, dan DSLR menyerang membabi buta saat matahari keluar dari persembunyiannya. Matahari naik perlahan di sela awan, pagi pun menyapa. Pukul 05.40 WIB, baskara tampil utuh pertanda Shubuh telah tamam. Dingin yang merangkul jari sirna saat melihat kirana loka Telomoyo.

Dari barisan gunung membentang, gunung hijau di sisi barat daya bernama Gunung Andong adalah yang terdekat. Selain itu? Hmmm..., tidak tahu, aku harus membuka peta Google untuk memastikannya. Hanya itu satu-satunya sumber informasi wilayah yang bisa dipercaya. Ketiadaan pemandu yang bisa memberi penjelasan, menguntungkan agar aku bisa lebih mensyukuri semua ciptaan-Nya.

Sajian jurutama masak di atas ketinggian
Aku berjalan turun, adakah hal menarik di sana? Di titik gantole 1 kru Hotel d'Emmerick menyiapkan sarapan. Jurutama masak hotel yang turut serta, meracik mie Jawa dalam mangkuk stereoform. Kru bergerak cepat, kuah mie segera dipanaskan di atas kompor portabel. Racikan yang sudah siap, ditata rapi di atas pembatas jalan, siapa yang ingin sarapan, tinggal menuangkan kuahnya. Jam masih menunjukkan pukul 06.00 WIB, tapi udara dingin membuat perut cepat kosong, kami lalu sarapan ditemani segelas teh panas.
Chef (jurutama masak) d'Emmerick.
Titik gantole 1 (menurutku) menghadap utara. landasan yang sudah diakui Federation Aeronautique Internationale (FAI) menjadi favorit pemotretan. Landasan di tepi jalan ini dibuat dari papan kayu, dengan panjang 2 meter dan lebar 3 meter. Landasan lalu menukik turun 1 meter membentuk sudut 45 derajat.

Rawa Pening dan desa-desa di sekitarnya terlihat jelas. Satu menara telekomunikasi menaungi 1 desa, desa tetangga juga dinaungi 1 menara. Melihat jauh ke arah barat, Gunung Sindoro dan Sumbing gagah berdiri. Kedua gunung ini mudah dikenali karena letaknya berdekatan dan tampak seperti kembar. Oleh karena itu menyebut Sindoro kurang lengkap tanpa menyebut Sumbing.
Mie yang siap disiram kuah panas.

Melintasi air terjun Telomoyo
Kulit mulai terbakar baskara, 1 jam kemudian kami beranjak meninggalkan puncak Telomoyo. Rombongan tidak berhenti meski melewati tempat menarik untuk disinggahi. Mobil kami baru berhenti ketika berjumpa dengan air terjun, yang dikenal dengan nama Air Terjun Telomoyo. Dari ketinggian sekitar 10 meter, air dingin mengalir perlahan. Di puncak air terjun dan sekeliling kulihat pohon cemara, jadi teringat dengan Perum Perhutani yang identik dengan hutan cemara. Sebagian peserta menikmati kesegaran air pegunungan, sebagian mengabadikan gambar, sebagian ngempet pipis karena tidak segera sampai tujuan.
Air terjun Telomoyo.

Pukul 08.00 WIB rombongan sampai di pintu gerbang Gunung Telomoyo. Beberapa teman menyerbu toilet, teman lain memotret di area parkir, tapi kebanyakan tetap duduk di mobil. Lepas hajat dan penat, rombongan kembali ke hotel membawa serpihan kenangan.

Artikel Terkait:
- Camping, Archery, dan High Ropes yang Menantang
- Kereta Api hanya Sekali Perjalanan, Penumpang Memilih Bus Solo-Semarang
- Off-road di Perkebunan dEmmerick Salatiga
- Berjuang Mendapatkan Tiket Prameks

Share with your friends