Sebelum Matahari Tenggelam di Songgo Langit - metuomah.com

Minggu, 18 Maret 2018

Sebelum Matahari Tenggelam di Songgo Langit

Menurut jadwal, usai mengunjungi Batik Tulis Berkah Lestari, rombongan melanjutkan perjalanan ke Wisata Seribu Batu Songgo Langit, Mangunan Dlingo Kabupaten Bantul DIY. Nyaris batal karena hujan (padahal jam 14.00 WIB sudah reda) dan rombongan Jakarta membelot ke Malioboro, akhirnya blogger selo berangkat juga dengan dua mobil, ditemani rekan-rekan Dompet Dhuafa Jogja 😆.
Seribu Bata Songgo Langit.
Google Maps mengkonfirmasi bahwa perjalanan hanya 17 menit, padahal kenyataannya waktu tempuh sekitar 30 menit (Google Maps bohong ya?). Tikungan dan tanjangan di jalan tipe IIIC mewajibkan pengemudi selalu fokus dan berpengalaman. Sepanjang perjalanan tak terlihat angkutan umum melayani jalur menuju Songgo Langit. Mungkin sudah terlalu sore atau mungkin belum ada?
Social Trip Dompet Dhuafa.
Pukul 16.05 WIB sampailah di Songgo Langit, dari pertama kali masuk rest area hingga ke parkir mobil dan motor terlihat penataannya sudah rapi dan bersih. Tiket masuk hanya Rp2.000/orang sedangkan parkir mobil Rp5.000. Tarif untuk keperluan lainnya terpasang di loket masuk.

Foto terhapus
Qodarullah foto-foto di Songgo Langit terhapus secara tak sengaja, sehingga tidak bisa tampil di artikel ini. Hanya tersisa 2 foto yang telah terunggah di Google Maps dan Instagram 😟.
Rute ke Songgo Langit dari Batik Berkah Lestari.
Sebelum mengeksplore obyek wisata yang basah oleh hujan, kami shalat Ashar terlebih dahulu. Letak tempat shalat di depan loket masuk, yang cukup menampung sekitar 10 jamaah.

Tidak sampai puncak
Seribu Batu Songgo Langit buka pukul 06.00-18.00 WIB, tapi saat musim hujan seperti ini pukul 17.00 WIB langit sudah gelap. Kami hanya punya waktu 1 jam di sini agar kembali sampai meeting point Jogja sebelum Maghrib.
A post shared by metuomah.com (@metuomah) on
Di depan parkir mobil berdiri deretan warung makan yang dikelola warga setempat, terlihat sepi karena sudah menjelang sore dan gerimis kecil menemani. Aku bergegas ke utara (patokannya tempat shalat tadi) menuju tempat duduk kayu, mengambil beberapa gambar lalu menyeberangi jembatan menuju batu Songgo Langit; batu besar yang instagramable (?) Hanya 5 orang dari rombongan yang semangat berkeliling, sedangkan yang lain hanya menunggu di tempat parkir.

Berpacu dengan waktu, aku menuju Rumah Hobbit dan Rumah Seribu Kayu yang berada di barat batu Songgo Langit. Rumah Hobbit tidak bisa dimasuki orang dewasa, berbeda dengan Rumah Kayu. Dengan pijaran bolam lampu kuning di dalam Rumah Kayu, tidak mengurangi keangkerannya 😁. Mendung dan sunyi, hanya ditemani gemericik air sungai kecil.

Rumah kayu disusun dari ranting-ranting kayu panjang membentuk kerucut dan segitiga berbagai ukuran. Bukan rumah untuk berteduh dari hujan dan panas, hanya sebatas sebagai tempat berfoto.

Ada tempat terbuka dengan bangku kayu mengelilingi, bak pertunjukan opera dengan lantai papan kayu. Hampir semua sudut Songgo Langit cocok untuk pemotretan.

Kami kembali ke selatan, meniti satu-satunya jalan menuju puncak. Jalan setapak licin oleh air hujan, tanah menempel pada sepatu kami. Baru sepertiga jalan kami urung melanjutkan perjalanan, hari semakin gelap, berkabut, dan sunyi. Waktu tidak akan terkejar dan tidak membawa peralatan memadai jika terjebak malam dan hujan 😊.

Kursi di tepi jalan setapak jadi pelampiasan kepenatan, menata nafas yang tak beraturan sambil memotret sekeliling, sebelum beranjak menuju parkir mobil.

Waktu terbaik wisata di Songgo Langit adalah pagi hari, apalagi bisa melihat terbitnya matahari. Apakah loket sudah buka? Aku kurang mengerti, menurut penjaga loket selama 24 jam ada petugas jaga. Mengingat kawasan Mangunan merupakan favorit wisatawan melihat sunrise, kemungkinan obyek wisata sudah dibuka untuk umum.

Ingin kembali kesini, memotret kenangan yang hilang karena kealpaan.

Share with your friends