Dompet nilon yang kubawa setiap hari akhirnya pensiun juga. Sudah beberapa bulan lalu minta pensiun tapi belum terkabul. Baru pada hari ini, permintaan tersebut terlaksana. Dompet berwarna hijau yang sudah dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman, nyaris seusia Arsene Wenger melatih Arsenal.
Dompet Eiger ini dibeli (mungkin) pada musim 1997 atau 1998, seusia dedek-dedek yang baru aktif mencari perhatian. Konon ceritanya, dompet ini dibeli di Toko Gramedia Jalan Jendral Sudirman, Yogyakarta. Ketika itu harganya Rp7.500. Beberapa saat berselang, teman si pembeli ini melihat dompet tersebut. Heran kok ada dompet bagus berharga murah. Langsung saja dia ke Gramedia untuk beli dompet Eiger. Laki-laki bernama Bernad itu kemudian membeli dompet yang lebih mahal, Rp.8.500.
![]() |
Dompet nilon buluk. |
Dua tiga bulan kemudian, Bernad jengkel dan agak kecewa karena dompet yang dibelinya telah rusak. Dia menyalahkan pemilik dompet hijau, karena menganggap telah menjerumuskannya. Teman-teman lain yang melihat rusaknya dompet Bernad malah tertawa 😀. Laki-laki itu membeli dompet dengan model jaring yang rentan rusak, kenapa dia tidak beli model yang sama? 😂
Dompet buluk ini kemudian jatuh ke tanganku, menemaniku ke mana saja dalam berbagai cuaca. Tak jarang basah oleh hujan, tersiram air, maupun resapan keringat. Uang di dalamnya pun ikut basah, baunya juga berubah ketika keringat membasahi dinding dompet.
Kini aku sudah menemukan pengganti, walaupun salah beli dan merasa dikhianati. Harga daring dan harga luring nyatanya lebih murah daring. Salah beli karena dompet itu lebih layak untuk kunci mercy 😆.
Begitulah sahabat kismin, beli hanya saat ada reduksi. Tidak sadar jika sedikit dikibuli. Cinta datang karena terbiasa, siapa tahu seiring berjalannya waktu, cinta kepada dompet baru makin terasa. Sambil menanti dompet yang baru (lagi) tiba.